Selasa, 26 Januari 2016

Teori-teori Sosiologi


A.     Teori Struktural Fungsional- Talcott Parson
Teori struktural fungsional beranggapan bahwa masyarakat tersusun oleh suatu sistem yang kompleks, yang setiap unsur-unsurnya dalam sistem tersebut saling berkaitan dan bekerja sama dalam membangun serta memelihara stabilitas sosial. Dua konsep penting yang yang harus diperhatikan dalam teori ini :
1.      Masyarakat terdiri atas struktur sosial-struktur sosial. Struktur sosial adalah pola-pola perilaku sosial yang relatif stabil, seperti sekolah, keluarga, tempat kerja dan sebagainya.
2.      Setiap bagian dari struktur sosial memiliki fungsi-fungsi sosial, yakni konsekuensi dari pola-pola sosial terhadap bekerjanya masyarakat secara keseluruhan.
Semua pola-pola sosial tersebut, dari yang kompleks, seperti pemilu dan pemilukada, hingga yang sederhana seperti tradisi bertamu ke rumah tetangga memiliki fungsi untuk menyokong agar masyarakat tetap ada, bertahan dan berkembang.
B.     Teori Struktural Konflik- Karl Marx
Teori struktural konflik beranggapan bahwa masyarakat terdiri atas sistem yang kompleks yang ditandai dengan ketidaksetaraan dan konflik untuk menciptakan perubahan sosial. Masyarakat merupakan tempat ideal berlangsungnya konflik (dan ketegangan sosial, baik bersifat terbuka, maupun bersifat laten/tersembunyi) akibat dari adanya kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dari berbagai kelompok sosial.
Dalam kehidupan sosial masyarakat, sebagian kecil orang menguasai sebagian besar sumber daya (ekonomi dan politik) sedangkan sebagian besar orang hanya menguasai sebagian kecil sumber daya, sehingga terjadi ketegangan dan konflik sosial. Menurut marx, dalam masyarakat terdapat kelas-kelas sosial, yaitu kaum buruh, majikan, dan tuan-tanah. Mereka berada dalam ketegangan sosial dan konflik karena penguasaan sumberdaya ekonomi dan politik yang berbeda.
C.      Dasar-dasar Teori Konflik Sosial – Ralf Dahrendorf
Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir atau dengan kata lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat pada setiap masyarakat. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya atau dengan kata lain, konflik merupakan gejala yang melekat di setiap masyarakat.
Setiap unsur dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial.  Setiap masyarakat terintegrasi di bawah penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang yang lain.
D.     Teori Interaksionisme Simbolik – George H. Mead & Herbert Blumer
Jika teori struktural fungsional dan teori struktural konflik bersifat makro (skala luas masyarakat) , sebaliknya teori interaksionisme simbolik berpijak pada skala mikro yaitu, interaksi sosial sehari-hari.
Menurut teori interaksionisme simbolik , masyarakat atau struktur sosial dan proses-proses sosial berskala makro harus dipahami dari interaksi sosial sehari-hari pada situasi yang spesifik. Basis teori ini adalah self (individu) yang saling berinteraksi dengan individu-individu lainnya dan individu memegang peranan penting dalam interaksi sosial. Tiga premis/prinsip dasar teori interaksionisme simbolik adalah sebagai berikut :
1.      Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu,
2.      Makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan
3.      Makna-makna tersebut disempurnakan ketika proses interaksi sosial berlangsung.
Self sebagai individu yang unik terbangun oleh proses interaksi sosial. Melalui interaksi, anggota-anggota masyarakat terhubung satu sama lain, menciptakan pemahaman bersama atas kejadian, sehingga kemudian terbentuklah sebuah komunitas, keteraturan sosial, dan kebudayaan.
E.      Teori Dramaturgi ­­­____  Erving Goffman
Teori ini merupakan pengembangan teori interaksionisme simbolik oleh Erving Goffman. Teori mengemukakan bahwa kehidupan di dunia diibaratkan panggung teatrikal dalam pentas seni (drama). Manusia mengambil status dan peranan sesuai dengan skenario naskah dan diawasi oleh penonton. Pementasan dalam panggung sandiwara memerlukan perangkat-perangkat : pemain (performer), penampilan (performance), tempat (region/stage), naskah (script), dan yang penting adalah penonton (audience). Individu/kelompok harus memainkan peran pertunjukkan di atas panggung sesuai jalan cerita naskah.
Individu/kelmpok hrs memainkan peran di atas panggung dengan sebaik-baiknya agar pementasan sukses dan menghindari kesalahan penampilan. Individu harus tahu kapan ia berada di panggung depan/tempat pentas (front stage atau front region) atau panggung belakang (back stage)/back region).
Panggung belakang tempat pemain melepaskan diri dari “pengawasan penonton”. Penampilan menjadi apa adanya/biasa-biasa saja, interaksi sosial sewajarnya.
Di panggung depan, individu memainkan peranan yang berpura-pura yang disebut “pengelolaan kesan” (impression management) sesuai dg ketajaman individu membaca dan mendefinisikan situasi.
Kehidupan sosial sehari-hari sama dengan akting di panggung pertunjukan. Individu adalah aktor-aktor yang memainkan peran dalam berbagai “model/ragam pertunjukan”. Karena itu, ia harus memahami “naskah cerita” dengan baik, berisi peran dan norma yang harus dipatuhi dalam peran. Contoh: bagaimana seseorang harus memainkan peran sebagai “mahasiswa” dan sebagai “dosen” dalam panggung pertunjukan yang disebut “perkuliahan sosiologi?”

Peran yang dimainkan di “panggung depan” bisa menjadi media “memanipulasi diri” atau “memperdayai orang” sesuai dengan kepentingan aktor (self=diri). Misalnya, guru agama atau orang yang bernampilan “perlente” atau “necis”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar