Sabtu, 09 Januari 2016

SEJARAH SASTRA DAN KRITIK SASTRA



Materi perkuliahan Pengantar Ilmu Sastra oleh Dra. Sri Mariati

Sejarah sastra adalah ilmu yang mempelajari sastra sejak kelahirannya sampai pada masa kekinian. Sejarah sastra modern khususnya di Indonesia diawali dari angkatan Balai Pustaka, Pujangga Baru, angkatan ’45 dan angkatan ’66.

Angkatan Balai Pustaka lahir pada tahun 1917, awalnya Balai Pustaka bernama Commisie voor de Volksletcttuur. Komisi bentukan Belanda ini mulanya dipimpin oleh Dr. G.A.J Hazeu. Tugas dari komisi ini untuk menyortir karya-karya sastra yang beredar kala itu. Karya-karya sastra yang boleh terbit adalah karya-karya yang tidak berbau politik, harus netral dari unsur agama, harus membangun dan mendidik budi pekerti dan kecerdasan. Seiring berjalannya waktu, usaha komisi ini mulai berkembang. Perkembangannya meliputi penerbitan karya-karya penulis pemula, mengumpulkan cerita rakyat dari seluruh pelosok negeri, menerbitkan karya-karya terjemahan, dan mendirikan perpustakaan di pengungsian.
Angkatan Balai Pustaka mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
-          Kebanyakan karya sastra waktu itu mengambil bahan dari problematika tanah Minangkabau
-          Perjuangan kaum muda dalam memberantas kejanggalan yang terjadi dalam masyarakat misalnya : poligami ( Salah Asuhan karya Abdul Muis), kawin paksa (Azab dan Sengsara karya Merari Siregar), kebangsawanan (Pertemuan Jodoh)

Namun, menurut Radhar Panca Dahana dalam seminar “Sumbangsih Sastra Modern Pada Peradaban Dunia” dalam rangka perayaan Pekan Raya IMASIND di Aula Fakultas Sastra Universitas Jember, beliau memaparkan adanya indikasi pen-setting-an dunia kasusastraan Indonesia dimulai sejak masa Balai Pustaka. Hal ini didasarkan pada, penyortiran karya-karya pada waktu itu oleh Balai Pustaka dengan cara lomba (para penulis) mengirimkan karya nya ke Balai Pustaka , hanya untuk dinilai mana karya-karya yang mempunyai urgentisitas yang bisa membahayakan kemajuan bangsa Indonesia (mematikan kearifan lokal). Alhasil, karya-karya yang terpilih berasal dari bahasa Melayu dengan tingkat tinggi sehingga hanya segelintir pengarang yang bisa serta bahasa itu juga yang memprakarsai munculnya Bahasa Indonesia sampai saat ini.

Angkatan Pujangga Baru berasal dari dari nama sebuah majalah Pujangga Baru yang terbit pada tanggal 26 Juni 1933. Angkatan Pujangga Baru berlangsung selama sembilan tahun yaitu dari tahun 1933-1942. Tokoh angkatan Pujangga Baru yaitu, Sanusi Pane, Armyn Pane, dan Amir Hamzah.

Ada perbedaan mencolok antara angkatan Balai Pustaka dengan angkatan Pujangga Baru. Dalam penggunaan bahasa, angkatan Balai Pustaka cenderung klise (berulang-berulang) sedangkan Pujangga Baru cenderung simpel dan modern. Cara mengarang, pengarang angkatan Balai Pustaka dominan berbicara dan menasehati pembaca, sedangkan pengarang Pujangga Baru hanya melukiskan, menyerahkan kesimpulan pada pembaca. Isi cerita dari angkatan Balai Pustaka lebih kepada pertentangan faham antara kaum tua dengan kaum muda (kolot dan modern) sedangkan pengarang Pujangga Baru berisi segala persoalan yang menjadi cita-cita pemuda di waktu itu. Coraknya, Balai Pustaka romantis sentimentil, sedangkan Pujangga Baru romantis idealis.

Dalam paparan Radhar Panca Dahana, Pujangga Baru ini sebenarnya tidak berbeda dengan Balai Pustaka, karena diprakarsai oleh orang-orang yang sama dalam pendiriannya. Sehingga menurut beliau, memang dunia kasusastraan Indonesia sudah direncanakan dari awal kelahirannya dalam suasana kehancuran.
Angkatan ’45, angkatan ini lahir karena karya-karya yang muncul banyak yang bernada perjuangan. Angkatan ’45 mempunyai beberapa nama lain seperti : Angkatan kemerdekaan, angkatan Chairil Anwar, angkatan gelanggang dll. Penyair yang mencuat namanya hingga lekang sampai sekarang adalah Chairil Anwar. Ciri-ciri angkatan ’45 yaitu gaya yang dominan adalah ekspresif, pandangan hidup yang humanisme universal, sikap hidup (realita bercampur sinisme, humanisme, skeptisme). Angkatan ’45 juga tak lepas dari sorotan cara pandang Radhar Panca Dahana, menurutnya tidak perlu terlalu mengagung-agungkan seorang Chairil Anwar dan karya-karya. Sebab, kasusastraan bangsa Indonesia tidak mempunyai “isme” atau aliran sendiri. Sehingga hanya menjadi epigot-epigot dari pengarang bangsa Eropa termasuk seorang Chairil Anwar.

Angkatan ’66. Pada tahun 1966 terjadi suatu peristiwa penting. Peristiwa yang melahirkan angkatan yang menyebut dirinya Angkatan ’66. Generasi ini mendobrak terhadap kebobrokan yang disebabkan oleh penyelewengan terhadap negara secara besar-besaran. Penyelewengan yang membawa negara dalam jurang kehancuran total.
Pancasila diselewengkan oleh para pejabat yang penuh ambisi, tidak bermoral, kecuali moral untuk kepentingan sendiri. Akibatnya masyarakat mengalami keruntuhan spiritual dan materiil. Protes terhadap pejabat tersebut dilakukan oleh pelajar  dan mahasiswa. Mereka menuntut agar Pancasila yang telah diselewengkan dikembalikan seperti semula.
Berikut pengarang/penyair Angkatan ’66 beserta karya-karyanya :
a.       Sapardi Djoko Darmono : Sajak Orang Gila, Dingin Benar Malam ini, Siapakah Engkau, dll.
b.      Taufiq ismail : “Almamater”, “Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya”, “Kita Adalah Pemilik Syah Republik ini”, dll.
c.       Umar Kayam : “Seribu Kunang-Kunang di Manhattan”.
d.      HB Yassin : “Harapannya di Air Laut”.
e.       Gunawan Muhammad : “Almanak”, “Lagu Pekerja Malam”, “Riwayat”, “Jangan Lagi Engkau Berdiri”, “Pertemuan”, “Nina-Bobok”, “Hari Terakhir Seorang Penyair”, dll.

Kritik Sastra adalah ilmu yang menyelidiki karya sastra serta memberi pertimbangan bernilai atau tidaknya suatu hasil sastra. Tarigan mendefinisikan kritik sastra sebagai pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat, serta pertimbangan yang adil terhadap baik buruknya kualitas, nilai, dan kebenaran nilai.

Sifat Kritikus menurut Tarigan adalah sebagai berikut :
-          Jujur
-          Objektif
-          Berwawasan luas
-          Menguasai teori dan sejarah sastra
Hasil kerja kritikus sangat bermanfaat untuk :
-          Pembaca
-          Ilmu sastra
-          Perkembangan sastra itu sendiri

Simbiosis Mutualisme :
-          Hubungan teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra berbentuk simbiose mutualisme, hubungan yang saling menguntungkan.
-          Maksudnya, teori sastra  digunakan oleh kritikus sebagai pisau bedah atau alat untuk menganalisis. Sejarah sastra dapat membantu kritikus untuk mengetahi termasuk angkatan berapa karya satra yang dikritiknya. Tanpa menguasai teori sastra dan sejarah sastra maka hasil kritikannya akan tumpul, tidak “bunyi”. Begitu juga sebaliknya, hasil dari kritikus akan memperkaya teori sastra dan sejarah sastra.



1 komentar: