Rabu, 30 Desember 2015

Sastra pembongkar generasi kolot.
















PUISI MBELING

Dalam perkembangan dunia sastrawi di Indonesia, terdapat beberapa era. Era balai pusataka, era pujangga baru, era ’45 dan era ’66. Namun setelah era ’66 tidak muncul kembali sebuah era dimana jiwa sastrawi nya muncul lekat dan menimbulkan identitas. Hal ini menurut Sapardi Djoko Darmono terjadi karena tiadanya semacam tuntutan kepada sastrawan untuk mengikuti garis politik golongan tertentu sejak tahun 1966, memberikan kebebasan sastrawan dalam mencipta. Pembaruan stilistika dan tematik juga menjadi tujuan penyair setelah tahun 1966.
Setelah tahun ’66 , muncul puisi ‘mbeling’ yang pertama kali dimuat dalam majalah “Aktuil” pada tahun 1972. Kata mbeling sendiri menurut para redaktur majalah diartikan sebagai “sikap nakal yang tahu aturan”. Tujuannya ialah untuk menghadirkan atau menggerus nilai-nilai kaum tua yang dianggap sudah bokek, nilai-nilai seni tua yang dijlimitkan dengan teori-teori yang sudah kaku. Puisi mbeling merupakan puisi pemberontakan terhadap puisi mapan yang hanya membicarakan awan, kuda, laut, padi dsb.
Hal-hal yang melatar belakangi puisi mbeling, pada waktu itu sesudah tahun ’66, minat para pemuda untuk menulis sangatlah besar tetapi majalah sastra amat terbatas jumlahnya sehingga puisi yang dikirimkan ke majalah sastra tidak dapat segera dimuat. Kepenyairan seseorang ditentukan oleh dapat atau tidaknya karya seorang penyair disiarkan dalam majalah sastra. Penyair mapan semakin mendapat tempat dalam perkembangan puisi Indonesia. Sedangkan, penyair muda semakin mendapat tekanan dari penyair mapan, mereka tidak dapat tampil karena terhalang penyair mapan.
Perkembangan puisi mbeling, pada tahun ’73 puisi mbeling berganti nama menjadi ”puisi lugu”, kata “lugu” diartikan sebagai sikap menerima apa adanya tanpa keterbatasan ruang dan waktu. Pada tahun ’75 kata “lugu” diubah menjadi “awam”, “awam” dimaksudkan untuk porsi kaum awam,  tujuannya mencapai kesenangan , kegembiraan dan rekreasi bagi orang awam. Sedangkan di majalah Stop, puisi mbeling disediakan rubrik yang dinamai “Soliloqui” dan menyebut puisi mbeling , puisi “setengah matang” kemudian berubah menjadi “remaja underground” berubah lagi menjadi puisi “underground”. Pada majalah Yunior, puisi mbeling disebut puisi-puisi cinta.
Puisi mbeling lebih digemari oleh masyarakat luas daripada puisi yang serius. Bagi masyarakat luas, puisi mbeling mempunyai daya pikat yang besar. Puisi mbeling tidak sulit untuk dipahami, masalah yang diungkapkan bukan masalah pelik. Kelakar, caci-maki, hal-hal yang jorok, main-main yang diungkapkan dalam puisi tersebut lebih memikat.
Puisi mbeling juga sudah masuk dalam ranah pembicaraan yang serius. Dalam pertemuan sastrawan II pada tahun 1974, puisi mbeling banyak disinggung oleh Muhammad Ali dan Wing Karjo. Pada tahun 1975 Dewan Kesenian Jakarta memberikan kesempatan pada penyair muda untuk membacakan karyanya di Taman Ismail Marzuki.
Berikut unsur-unsur puisi Mbeling:
1.      Bahasa
Bahasa yang dipergunakan dalam puisi mbeling adalah bahasa yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata yag berasal dari bahasa daerah sering dijumpai dalam puisi mbeling, bahkan bahasa asing juga ikut digunakan (bahasa inggris, perancis dll).
Contoh :
“Puisi buat pacarku”
Duhai pacarku,
Yang pesek
Sebetulnya ik enggak ngebet
Sama situ
Tapi apa daya
Babemu kaya
Nanti kita berbulan madu
Pake corolla
Ke neraka.
(Amin Subagio, Aktuil, Maret 1976)

2.      Bentuk
Bait dan baris dalam puisi mbeling tampak kurang teratur dibandingkan dengan puisi serius. Dalam puisi mbeling jarang dijumpai puisi yang terbagi atas bait-bait yang jumlah lariknya sama. Penyusunan baris yang menimbulkan kesan kerapian bentuk jarang dijumpai.
Contoh:
“Doa”
DOA
A
AAAAAAA
AAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAA
AMIN
            (Jeihan, Top, Mei 1975)

3.      Persajakan
Dalam puisi mbeling rima dan ritme tidak mendapat banyak perhatian, karena puisi mbeling diciptakan secara spontan atau serta merta. Bagi mereka menciptakan puisi bukanlah pekerjaan yang sulit, yang dipentingkan kesertamertaan, keluguan dan keakraban. Akrab dalam arti bahasa mengucapkannya tidak terlalu asing dan mudah dipahami pembaca.


Contoh:
“Perempuan”
Habis manis
Sepahnya dibuang
Habis nangis
Maunya disayang
(Sri Indarti S.  Aktuil, Desember 1973)

4.      Gaya Bahasa
Dibanding dengan puisi serius, puisi mbeling lebih prosais. Puisi mbeling menggunakan bahasa yang lugas. Ungkapan, perbandingan dan lambang yang rumit jarang dijumpai. Memahami dan menikmati puisi mbeling tidak sesulit memahami dan menikmati puisi serius. Pembaca tidak perlu bersusah payah menafsirkan ungkapan, perbandingan atau lambang agar dapat memahami dan menikmatinya.
Contoh:
“Barangkali telah kuseka namamu”
Barangkali telah kuseka namamu
Dengan sol sepatu
Seperti dalam perang
Kuseka namamu

5.      Tema
Puisi ini menyajikan aneka ragam persoalan. Segala hal dapat disajikan menjadi puisi mbeling oleh penyair. Mereka tidak terlalu memilih dan menentukan persoalan yang dituangkan dalam puisinya. Bagi mereka tidak ada hal yang tabu untuk dijadikan puisi mbeling. Sesuatu hal yang biasanya dianggap kesopanan tidak boleh disebut-sebut, dengan nakalnya dijadikan puisi oleh penyair mbeling. Tidak ada yang puitis dan tidak puitis. Yang terpenting dapat memancing senyum, tertawa dan reaksi spontan lainnya. Yang penting ialah tanggapan pembaca pada saat membaca puisi itu, perkara sesudah itu dijadikan bungkus kacang atau dibuang, bukan soal bagi mereka.
Contoh:
“KISS....MIA”
Natrium, yodium, kalsium
Dan sebagainya
Tak kusuka
Yang kusuka adalah mencium
(Yoppy O.L. Stop. November 1978)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar