PUISI MBELING
Dalam
perkembangan dunia sastrawi di Indonesia, terdapat beberapa era. Era balai
pusataka, era pujangga baru, era ’45 dan era ’66. Namun setelah era ’66 tidak
muncul kembali sebuah era dimana jiwa sastrawi nya muncul lekat dan menimbulkan
identitas. Hal ini menurut Sapardi Djoko Darmono terjadi karena tiadanya
semacam tuntutan kepada sastrawan untuk mengikuti garis politik golongan
tertentu sejak tahun 1966, memberikan kebebasan sastrawan dalam mencipta.
Pembaruan stilistika dan tematik juga menjadi tujuan penyair setelah tahun
1966.
Setelah
tahun ’66 , muncul puisi ‘mbeling’ yang pertama kali dimuat dalam majalah “Aktuil” pada tahun 1972. Kata mbeling
sendiri menurut para redaktur majalah diartikan sebagai “sikap nakal yang tahu
aturan”. Tujuannya ialah untuk menghadirkan atau menggerus nilai-nilai kaum tua
yang dianggap sudah bokek, nilai-nilai
seni tua yang dijlimitkan dengan teori-teori yang sudah kaku. Puisi mbeling
merupakan puisi pemberontakan terhadap puisi mapan yang hanya membicarakan
awan, kuda, laut, padi dsb.
Hal-hal
yang melatar belakangi puisi mbeling, pada waktu itu sesudah tahun ’66, minat
para pemuda untuk menulis sangatlah besar tetapi majalah sastra amat terbatas
jumlahnya sehingga puisi yang dikirimkan ke majalah sastra tidak dapat segera
dimuat. Kepenyairan seseorang ditentukan oleh dapat atau tidaknya karya seorang
penyair disiarkan dalam majalah sastra. Penyair mapan semakin mendapat tempat
dalam perkembangan puisi Indonesia. Sedangkan, penyair muda semakin mendapat
tekanan dari penyair mapan, mereka tidak dapat tampil karena terhalang penyair
mapan.
Perkembangan
puisi mbeling, pada tahun ’73 puisi mbeling berganti nama menjadi ”puisi lugu”,
kata “lugu” diartikan sebagai sikap menerima apa adanya tanpa keterbatasan
ruang dan waktu. Pada tahun ’75 kata “lugu” diubah menjadi “awam”, “awam”
dimaksudkan untuk porsi kaum awam,
tujuannya mencapai kesenangan , kegembiraan dan rekreasi bagi orang
awam. Sedangkan di majalah Stop,
puisi mbeling disediakan rubrik yang dinamai “Soliloqui” dan menyebut puisi mbeling , puisi “setengah matang”
kemudian berubah menjadi “remaja underground”
berubah lagi menjadi puisi “underground”.
Pada majalah Yunior, puisi mbeling
disebut puisi-puisi cinta.
Puisi
mbeling lebih digemari oleh masyarakat luas daripada puisi yang serius. Bagi
masyarakat luas, puisi mbeling mempunyai daya pikat yang besar. Puisi mbeling
tidak sulit untuk dipahami, masalah yang diungkapkan bukan masalah pelik.
Kelakar, caci-maki, hal-hal yang jorok, main-main yang diungkapkan dalam puisi
tersebut lebih memikat.
Puisi
mbeling juga sudah masuk dalam ranah pembicaraan yang serius. Dalam pertemuan
sastrawan II pada tahun 1974, puisi mbeling banyak disinggung oleh Muhammad Ali
dan Wing Karjo. Pada tahun 1975 Dewan Kesenian Jakarta memberikan kesempatan
pada penyair muda untuk membacakan karyanya di Taman Ismail Marzuki.
Berikut
unsur-unsur puisi Mbeling:
1.
Bahasa
Bahasa yang dipergunakan dalam puisi mbeling adalah
bahasa yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata yag berasal
dari bahasa daerah sering dijumpai dalam puisi mbeling, bahkan bahasa asing
juga ikut digunakan (bahasa inggris, perancis dll).
Contoh :
“Puisi buat pacarku”
Duhai pacarku,
Yang pesek
Sebetulnya ik enggak ngebet
Sama situ
Tapi apa daya
Babemu kaya
Nanti kita berbulan madu
Pake corolla
Ke neraka.
(Amin Subagio, Aktuil,
Maret 1976)
2.
Bentuk
Bait dan baris dalam puisi mbeling tampak kurang teratur
dibandingkan dengan puisi serius. Dalam puisi mbeling jarang dijumpai puisi
yang terbagi atas bait-bait yang jumlah lariknya sama. Penyusunan baris yang
menimbulkan kesan kerapian bentuk jarang dijumpai.
Contoh:
“Doa”
DOA
A
AAAAAAA
AAAAAAAAAAA
AAAAAAAAAAAAAAA
AMIN
(Jeihan,
Top, Mei 1975)
3.
Persajakan
Dalam
puisi mbeling rima dan ritme tidak mendapat banyak perhatian, karena puisi
mbeling diciptakan secara spontan atau serta merta. Bagi mereka menciptakan
puisi bukanlah pekerjaan yang sulit, yang dipentingkan kesertamertaan, keluguan
dan keakraban. Akrab dalam arti bahasa mengucapkannya tidak terlalu asing dan
mudah dipahami pembaca.
Contoh:
“Perempuan”
Habis manis
Sepahnya dibuang
Habis nangis
Maunya disayang
(Sri Indarti S. Aktuil, Desember 1973)
4.
Gaya
Bahasa
Dibanding dengan puisi serius, puisi mbeling lebih
prosais. Puisi mbeling menggunakan bahasa yang lugas. Ungkapan, perbandingan
dan lambang yang rumit jarang dijumpai. Memahami dan menikmati puisi mbeling
tidak sesulit memahami dan menikmati puisi serius. Pembaca tidak perlu bersusah
payah menafsirkan ungkapan, perbandingan atau lambang agar dapat memahami dan
menikmatinya.
Contoh:
“Barangkali telah kuseka namamu”
Barangkali telah kuseka namamu
Dengan sol sepatu
Seperti dalam perang
Kuseka namamu
5.
Tema
Puisi ini menyajikan aneka ragam persoalan. Segala hal
dapat disajikan menjadi puisi mbeling oleh penyair. Mereka tidak terlalu
memilih dan menentukan persoalan yang dituangkan dalam puisinya. Bagi mereka
tidak ada hal yang tabu untuk dijadikan puisi mbeling. Sesuatu hal yang
biasanya dianggap kesopanan tidak boleh disebut-sebut, dengan nakalnya
dijadikan puisi oleh penyair mbeling. Tidak ada yang puitis dan tidak puitis. Yang
terpenting dapat memancing senyum, tertawa dan reaksi spontan lainnya. Yang penting
ialah tanggapan pembaca pada saat membaca puisi itu, perkara sesudah itu
dijadikan bungkus kacang atau dibuang, bukan soal bagi mereka.
Contoh:
“KISS....MIA”
Natrium, yodium, kalsium
Dan sebagainya
Tak kusuka
Yang kusuka adalah mencium
(Yoppy O.L. Stop.
November 1978)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar