A. Teori
Struktural Fungsional- Talcott Parson
Teori
struktural fungsional beranggapan bahwa masyarakat tersusun oleh suatu sistem
yang kompleks, yang setiap unsur-unsurnya dalam sistem tersebut saling
berkaitan dan bekerja sama dalam membangun serta memelihara stabilitas sosial.
Dua konsep penting yang yang harus diperhatikan dalam teori ini :
1.
Masyarakat
terdiri atas struktur sosial-struktur sosial. Struktur sosial adalah pola-pola
perilaku sosial yang relatif stabil, seperti sekolah, keluarga, tempat kerja
dan sebagainya.
2.
Setiap
bagian dari struktur sosial memiliki fungsi-fungsi sosial, yakni konsekuensi
dari pola-pola sosial terhadap bekerjanya masyarakat secara keseluruhan.
Semua
pola-pola sosial tersebut, dari yang kompleks, seperti pemilu dan pemilukada,
hingga yang sederhana seperti tradisi bertamu ke rumah tetangga memiliki fungsi
untuk menyokong agar masyarakat tetap ada, bertahan dan berkembang.
B.
Teori Struktural Konflik- Karl Marx
Teori
struktural konflik beranggapan bahwa masyarakat terdiri atas sistem yang
kompleks yang ditandai dengan ketidaksetaraan dan konflik untuk menciptakan
perubahan sosial. Masyarakat merupakan tempat ideal berlangsungnya konflik (dan
ketegangan sosial, baik bersifat terbuka, maupun bersifat laten/tersembunyi)
akibat dari adanya kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dari berbagai
kelompok sosial.
Dalam
kehidupan sosial masyarakat, sebagian kecil orang menguasai sebagian besar
sumber daya (ekonomi dan politik) sedangkan sebagian besar orang hanya menguasai
sebagian kecil sumber daya, sehingga terjadi ketegangan dan konflik sosial.
Menurut marx, dalam masyarakat terdapat kelas-kelas sosial, yaitu kaum buruh,
majikan, dan tuan-tanah. Mereka berada dalam ketegangan sosial dan konflik
karena penguasaan sumberdaya ekonomi dan politik yang berbeda.
C.
Dasar-dasar Teori Konflik Sosial – Ralf Dahrendorf
Setiap
masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah
berakhir atau dengan kata lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat
pada setiap masyarakat. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya
atau dengan kata lain, konflik merupakan gejala yang melekat di setiap
masyarakat.
Setiap
unsur dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi
dan perubahan-perubahan sosial. Setiap
masyarakat terintegrasi di bawah penguasaan atau dominasi oleh sejumlah orang
atas sejumlah orang yang lain.
D.
Teori Interaksionisme Simbolik – George H. Mead &
Herbert Blumer
Jika teori
struktural fungsional dan teori struktural konflik bersifat makro (skala luas
masyarakat) , sebaliknya teori interaksionisme simbolik berpijak pada skala
mikro yaitu, interaksi sosial sehari-hari.
Menurut
teori interaksionisme simbolik , masyarakat atau struktur sosial dan
proses-proses sosial berskala makro harus dipahami dari interaksi sosial
sehari-hari pada situasi yang spesifik. Basis teori ini adalah self (individu) yang saling berinteraksi
dengan individu-individu lainnya dan individu memegang peranan penting dalam
interaksi sosial. Tiga premis/prinsip dasar teori interaksionisme simbolik
adalah sebagai berikut :
1.
Manusia
bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu,
2.
Makna
tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan
3.
Makna-makna
tersebut disempurnakan ketika proses interaksi sosial berlangsung.
Self sebagai individu yang unik terbangun oleh proses
interaksi sosial. Melalui interaksi, anggota-anggota masyarakat terhubung satu
sama lain, menciptakan pemahaman bersama atas kejadian, sehingga kemudian
terbentuklah sebuah komunitas, keteraturan sosial, dan kebudayaan.
E.
Teori Dramaturgi ____ Erving Goffman
Teori ini
merupakan pengembangan teori interaksionisme simbolik oleh Erving Goffman.
Teori mengemukakan bahwa kehidupan di dunia diibaratkan panggung teatrikal
dalam pentas seni (drama). Manusia mengambil status dan peranan sesuai dengan
skenario naskah dan diawasi oleh penonton. Pementasan dalam panggung sandiwara
memerlukan perangkat-perangkat : pemain (performer),
penampilan (performance), tempat (region/stage), naskah (script), dan yang penting adalah
penonton (audience).
Individu/kelompok harus memainkan peran pertunjukkan di atas panggung sesuai
jalan cerita naskah.
Individu/kelmpok
hrs memainkan peran di atas panggung dengan sebaik-baiknya agar pementasan
sukses dan menghindari kesalahan penampilan. Individu harus tahu kapan ia
berada di panggung depan/tempat pentas (front
stage atau front region) atau panggung belakang (back stage)/back region).
Panggung
belakang tempat pemain melepaskan diri dari “pengawasan penonton”. Penampilan
menjadi apa adanya/biasa-biasa saja, interaksi sosial sewajarnya.
Di panggung
depan, individu memainkan peranan yang berpura-pura yang disebut “pengelolaan
kesan” (impression management) sesuai
dg ketajaman individu membaca dan mendefinisikan situasi.
Kehidupan
sosial sehari-hari sama dengan akting di panggung pertunjukan. Individu adalah
aktor-aktor yang memainkan peran dalam berbagai “model/ragam pertunjukan”.
Karena itu, ia harus memahami “naskah cerita” dengan baik, berisi peran dan
norma yang harus dipatuhi dalam peran. Contoh: bagaimana seseorang harus
memainkan peran sebagai “mahasiswa” dan sebagai “dosen” dalam panggung
pertunjukan yang disebut “perkuliahan sosiologi?”
Peran yang
dimainkan di “panggung depan” bisa menjadi media “memanipulasi diri” atau
“memperdayai orang” sesuai dengan kepentingan aktor (self=diri). Misalnya, guru
agama atau orang yang bernampilan “perlente” atau “necis”.